Banser, Bendera Tauhid dan Kehangatan Nursi di Istanbul
Oleh; Fahrizal Ischaq Addimasqi
Catatan Perjalanan Daurah Said Nursi-Turki 2018
Saya kira semua sepakat bahwa membakar bendera yang bertuliskan kalimat tauhid menyakiti hati kita semua sebagai umat Islam, bukan hanya Indonesia tapi dunia, jika tidak sakit hatinya, maka hatinya pasti sedang “sakit”. Kamipun di Istanbul membaca berita bahwa Presiden Erdogan meneteskan air mata, menyesalkan bahwa kenapa justru kejadian memilukan ini terjadi di Indonesia yang notabene sebagai penduduk muslim terbesar di dunia.
Banser dalam hal ini sudah meminta maaf kepada publik, bahkan Ketua umumnya menjelaskan bahwa kejadian itu di luar SoP yang sudah ditentukan, maka kewajiban kita adalah memaafkan mereka dan mengantisipasi agar kejadian yang sangat menyinggung umat Islam ini tidak terulang lagi di kemudian hari. Apapun perbedaan pendapat dan pandangan kita, kita harus bisa berfikir jernih bahwa persaudaraan antar muslim Indonesia tidak boleh dikorbankan.
Dahulu di saat Said Nursi berjuang meletakkan nilai-nilai Islam di Turki, dalam waktu bersamaan kondisi politik saat itu gencar-gencarnya Attarturk untuk membumi hanguskan Arabisme dan Keislaman di Turki, semua yang berkaitan dengan Islam dan Arab diberedel, banyak darah berceceran, Adzan dilarang, hingga Said Nursipun memutuskan untuk tidak membiarkan jenggot tumbuh di janggutnya, demi keselamatan pengikutnya, karena semua yang berjenggot berhak untuk diciduk dan dibui oleh rezim saat itu. Pada suatu hari Said Nursi saat menjalani persidangan diminta untuk melepaskan Penutup kepalanya oleh aparat, beliau mengatakan “Ini akhir dari kehormatanku, Demi Allah, apa yang ada di atas kepalaku takkan pernah kulepas kecuali kau memenggal leherku! “. Pantas sehari kami di Istanbul kami mendengar dari Mahasiswi asal Malang yang sedang mengambil PhD Dwi Retno yang menemani kami “Orang Turki itu Arogan”. Tapi hatiku luluh, karena Nursi memilih berdiam diri tidak melawan, tapi beliau terus menulis, agar dibaca anak turun dan pengikutnya di kemudian hari, dan 10 hari ini kami begitu menikmati tulisan Said Nursi yang syarat dengan makna menembuh ruang dan waktu.
Angin segarpun datang ketika Erdogan memimpin, sepertinya cita-citanya mengembalikan kejayaan Islam seperti dahulu kala “diijabah”. Orang Arab banyak berdatangan berdagang di Turki, Adzan kembali berkumandang, salah satu keistimewaan turki adalah belahan Eropa tapi masih bisa mendengarkan adzan begitu kesan Bapak Konjen KJRI Istanbul saat kita temui di kantornya. Tapi kita harus ingat 2016 lalu terjadi kudeta yang mengorbankan puluhan nyawa, meski gagal dengan meleknya masyarakat, tapi nyawa tetap melayang. Ingat! Semua sejarah Turki itu berganti “dibayar” oleh Nyawa.
Indonesia tetap tanah airku, Islamnya ramah, persebarannya tak pernah mengenal darah, sejarahnya tumbuh dengan penuh dinamika tanpa otot dan kebencian. Hanya PKI yang menjadi musuh abadi kita, karena darah para Ulama dan Jenderal kebanggan kita tak mudah untuk dilupa, selebihnya kita adalah saudara, titik dan tak pakai koma.
Kita harus belajar dari ketulusan Said Nursi, diam dan terus memberi arti, cukup Arab dan Turki yang menjalani semua itu dengan darah, kumandangan adzan di seluruh pelosok desa negeri kita nan hijau harus kita syukuri, pertumbuhan pesantren dimana-mana harus kita maknai, bahkan ada pepatah tidak ada pondok pesantren yang tidak laku. Bangsa kita besar, maka kita harus melatih diri berfikir besar.
Menyalakan api pertengkaran antara pro Banser dan Pembela bendera tauhid hanya menyenangkan pihak ketiga saja, di musim pemilu ini rasanya sulit untuk tidak mengaitkan tendensi politik dalam setiap kejadian. Tugas para ulama’ adalah mendinginkan umat ini, jangan ikut terprovokasi, tugas penegak hukum menindak sesuai dengan kewenangan dan transparansinya, tugas santri dan mahasiswa belajar atas kejadian ini, karena setiap sesuatu pasti terkandung hikmah tersembunyi di belakangnya. Kita hormati yang tersinggung bendera kebanggaannya dibakar, banser harus berendah diri dan minta maaf, jika sudah meminta, maka kita wajib memaafkannya, semua harus menahan diri, ademkan fikiran. Mari kita jaga Indonesia kita dengan segala kearifannya, semoga raksasa yang masih tertidur ini segera bangun. Amin.
Malam ini menjadi malam terakhir kami di Turki, genap 10 hari kami berturki, beristanbul dan bernursi. Kami sudah rindu dengan Bakso Gibras, Pecel dan Jengkol. Rindu Solawatan di langgar kecil, rindu keramahan wong ndeso Endonisiyah, seindah apapun Turki, rumput hijau Indonesia pasti lebih Indah. Oh Indahnya Indonesiaku, aku kan kembali ke pelukanmu… Good By Ayashopia, ku kan merindukanmu!
Istanbul, 24 Oktober 2018
Tinggalkan Komentar