Negeri Sepi dan Cukup Gizi
Catatan Perjalanan di Brunei Darussalam
Oleh : Fahrizal Ischaq*
Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di bumi Darussalam, meski saya dulu pernah belajar di Pesantren Darussalam alias kampung damai, nama yang sama tapi kesan yang berbeda. Terkenang ketika kami dan rombongan baru tiba di Brunei, pertama kali pesan WA yang masuk ke kami adalah “ahlan wa sahlan di Darussalam” oleh Ustadz Fajar Nur Aliy alamamater kami di Pesantren yang sudah tinggal 11 tahun di Brunei.
Seperti namanya Kampung Damai, kesan pertama ketika masuk negera ini adalah kedamaian, sepi, sunyi, tak ada klakson, tak ada orang berteriak, tak ada orang mendahului kendaraan ketika mengemudi, tak ada anak-anak yang berlarian ke sana kemari, tak ada ibu-ibu ngerumpi di pojokan gazebo, semua kebisingan itu sama sekali tak terdengar. Sungguh Damai seperti namanya. Kata Ustadz Fajar “Jika ada yang klakson berarti sedang marah sekali dan pasti menjadi pusat perhatian banyak orang”.
48 jam kami di Bandar Sri Begawan, belum pernah sekalipun melihat orang pribumi jalan cepat atau telpon dengan nada panik, badan mereka semuanya sehat, terlihat berisi, gizi dan vitaminpun dipastikan tercukupi semua, komentar Mahasiswa S2 di UNISSA asal Indonesia “perut mereka semuanya kenyang”, mereka tidak butuh demontrasi ke parlemen atau ke Istana Nurul Iman (Istana Sultan).
Simbol keagamaan sangat dijunjung tinggi, majelis dzikir dan ilmu sangat semarak, dari cerita Ustadz Danang yang pernah belajar di Damaskus bersama saya, negeri ini seperti Bumi Syam-nya Asean, meski menurut saya belum ada yang menyamai kedamaian bumi Syam di Damaskus sampai haru ini.
Selain bersilaturrahim dan mengunjungi lembaga-lembaga Pendidikan, sambil berlalu kami berdiskusi banyak hal mulai tentang bisnis hingga politik dalam negeri Indonesia, sesekali kami membandingkan antara Brunei dan Indonesia. Di Indonesia keras, tidak ada yang syahdu, semua butuh cepat, kerja keras dan survive, di jalan-jalan banyak klakson, macet, orang sibuk mondar-mandir sambil bicara di telpon bisa ditemukan dimana-mana, semua pihak pelototin kebijakan pemerintah, anjang sana-anjang sini, demo sana-demo sini, tak mau kerja keras tak akan dapat makan, gizi pasti terancam dan yang pasti masa depan tak akan ada kepastian, intinya pemalas tempatnya di tempat sampah jika di Indonesia.
Sambil menghibur diri akan aib tanah Air dan terus berupaya menjadi bagian dari solusi, saya jadi ingat ada sebuah filosofi hidup yang sangat masyhur “Lautan yang tenang tidak akan menghasilkan Pelaut yang handal”, saya bangga dan bersyukur menjadi Indonesia, meski dengan segala “kesemerawutannya” bagaimanapun saya lahir, hidup dan meminum air Indonesia, akan lahir dari rahimnya Pelaut yang handal, pekerja keras, tahan banting, pantang menyerah, cerdas dan mencerdaskan, gerak dan menggerakkan dan getar menggetarkan. Bukankah bangsa kita merdeka karena darah, korban dan kerja keras?
Hotel Jubilee, Istana Nurul Iman, Masjid Ashr, SD Al-Falah, UNISSA dan Tongseng Kambing Bu Mimin dekat KBRI lama semuanya menjadi kenangan dan pelajaran hidup yang Indah, matur nuwun dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ustadz Fajar dan Ustadz Danang atas kebaikan hati, kelapangan waktu dan dedikasi terhadap pendidikan putra-putri bangsa ini. Saya yakin antum lebih Indonesia dari pada saya, kami tunggu di tanah air untuk mengabdi.
Salam buat Farouq dan Vira yah…
Salam satu Ibu pertiwi!
*Ketua Rombongan Wisata Pendidikan Internasional Pesantren Modern Al-Amanah Malaysia-Brunei Darussalam
Tinggalkan Komentar